Thursday, August 27, 2009

Demokratisasi Negara-Negara Hijau

Setelah kekuatan Rusia dan sekutu-sekutunya runtuh, negara-negara barat yang tergabung dalam front liberal dan kapitalis bisa sedikit bernafas lega. Bagi mereka, negara-negara sosialis dan komunis ini adalah ancaman serius dalam membangun tatanan dunia baru versi mereka. Memang waktu itu, negara-negara sosialis dan liberalis seperti dua kerajaan besar, yaitu kerajaan biru (liberalis) dan kerajaan merah (sosialis).

Namun ternyata, kerajaan biru ini tidak lama bernafas lega. Karena setelah kerutuhan komunis, mereka dihadapkan dengan sebuah kekuatan baru yang ternyata jauh lebih besar dari ancaman sebelumnya. Kekuatan itu adalah sebuah kekuatan fundamental dan revolusioner. Memiliki ideologi tersendiri yang tidak mungkin bisa bersatu dengan ideologi-ideologi lainnya seperti liberalisme dan kapitalisme. Memiliki konsep tatanan dunia baru yang tidak mungkin sejalan dengan konsep-konsep barat. Kekuatan inilah yang mereka sebut sebagai kekuatan Islam. Ya, sebuah kekuatan yang menjadi ancaman baru bagi Amerika beserta sekutu-sekutunya. Sebuah ancaman yang dikenal dengan ancaman dari negara-negara hijau. Dengan kata lain, setelah turunnya bendera merah, bendera biru ini harus siap-siap dengan berkibarnya bendera hijau.

Ini fakta dan benar-benar terjadi. Kekuatan ini betul-betul dirasakan kuat oleh mereka. Mereka yang mengusung faham liberalisme dan kapitalisme, memiliki ambisi yang sangat luar biasa untuk menguasai dunia dan menciptakannya dengan tatanan baru versi mereka. Kekuatan negara-negara hijau benar-benar menggetarkan jiwa-jiwa mereka.

Benar saja apa yang telah kita ketahui dari Allah dan Rasul-Nya bahwa orang-orang kafir ini tidak akan pernah ridha dan rela dengan keberadaan kita. Selagi masih ingkar kepada Allah, mereka tidak akan pernah senang jika melihat kita, mendengar keberadaan kita, melihat kebahagiaan kita, dan merasakan kekuatan kita. Mereka betul-betul seperti terbakar api jika menyaksikan eksistensi dan pergerakan kaum muslimin. Kedengkian mereka sudah merasuki tulang belulang dan menjalar ke seluruh aliran darah. Semakin mereka ingkar kepada Allah dan risalah-Nya, semakin buta pula hati dan pikiran mereka.

Karena kedengkian itulah, mereka menyusun strategi dan mempersiapkan cara-cara jitu untuk melumpuhkan kaum muslimin. Mereka sadar bahwa cara-cara kekerasan malah akan menghancurkan diri mereka sendiri. Mereka betul-betul sadar akan hal ini karena mereka telah belajar dari perang salib, di saat mereka kalah melawan tentara kaum muslimin di bawah pimpinan Shalahudin al-Ayubi. Namun jangan lengah, semangat juang dan patriotisme mereka masih kuat mengakar. Sampai saat ini, mereka masih punya ambisi besar untuk memusnahkan kaum muslimin dan meratakan masjid-masjidnya seperti tanah lapang.

Tidak itu saja, mereka pun sangat berambisi merebut harta kekayaan kaum muslimin yang tersimpan di dalam perut tanah-tanahnya. Minyak yang melimpah, emas yang menggunung di dalam tanah, serta barang tambang lainnya yang tidak mereka temukan di lahan-lahan mereka, menjadi target lain selain ingin membumihanguskan ajaran Islam.

Langkah demi langkah, mulai mereka lewati. Meski baru setapak berjalan, namun pergerakan mereka begitu pasti. Terbukti sekarang, hegemoni mereka sudah semakin kuat dan permainan politik internasional mereka sudah semakin meraja. Sedikit demi sedikit, kekuatan kaum muslimin semakin melemah. Organisasi-organisasi Islam di berbagai dunia, kalah pamor dengan organisasi-organisasi liberal. Komunitas-komunitas muslim yang mencintai jihad, semakin tergantikan dengan orang-orang muslim yang mencintai kebebasan dan kebersamaan. Para ulama sunnah semakin terpojokkan dan tergeser kedudukannya dengan ulama-ulama pro liberalisme. Parahnya lagi adalah, loyalitas kaum muslimin terhadap agama dan ajarannya, semakin terurai dan bercampur aduk dengan kecintaannya pada nilai-nilai barat.

DEMOKRASI, Pedang Baru Prajurit Biru
Tidakkah kita tahu bahwa perang tak selalu menumpahkan darah? Tidakkah kita sadar bahwa pertempuran antara yang haq dengan yang batil tak selalu berkecamuk di medan laga? Ya, dua pertanyaan tadi mengisyaratkan kepada kita bahwa ada metode baru yang ditempuh oleh orang-orang kafir untuk menghancurkan kekuatan kaum muslimin. Di antara metode-metode yang ada itulah, satu di antaranya dikenal dengan sebutan demokrasi.

Ya, ide demokrasi adalah sebuah cara yang mereka tempuh untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin. Ambisi mereka sangat jelas, yaitu ingin menduniakan paham liberalisme dalam setiap bidang kehidupan. Karena, mereka berpikir bahwa liberalismelah yang mencerahkan dunia. Dari liberalisme inilah, muncul paham kapitalisme untuk sektor perekonomian dan muncul pula demokrasi untuk ruang lingkup politik.

Kita masih ingat dengan sebuah pernyataan Charles E. Carlson dalam Attacking Islam(1994), ia menyatakan bahwa setelah bahaya merah (komunisme) berakhir, maka bahaya hijau-ah (Islam) yang akan menjelma menjadi ancaman Barat. Ya, dari awal telah kita ketahui bahwa mereka benar-benar mewaspadai pergerakan kaum muslimin. Untuk itulah, demokrasi dijadikan umpan untuk melumpuhkan kaum muslimin. Dengan demokrasi juga, kaum muslimin diajak bekerjasama untuk menata dunia menurut yang sesuai dengan kehendak para pengusung liberalisme itu.

Condoleeza Rice, seorang pejabat ternama Amerika keturunan Yahudi pernah mengatakan, “Kini saatnya bagi kita untuk mendemokratisasikan negara-negara Islam.” Simak dan hayatilah perkataan itu. Terbukti sudah bahwa demokrasi itu adalah isyarat dari kedengkian mereka.

Mengapa demikian? Ingatlah bahwa Islam adalah ajaran yang sempurna. Dari kesempurnaan itulah, Islam tidak memerlukan ideologi dan konsep-konsep hukum buatan manusia. Jika kita meyakini bahwa ada kekurangan atau kecacatan hukum dalam ajaran Islam, maka hal itu sama saja kita tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena, Allah telah menyatakan kesempurnaan Islam ini. Maka dari itu, menawarkan sebuah ideologi baru, seperti demokrasi, adalah sebuah anggapan yang langsung atau tidak langsung menyatakan bahwa Islam tidak sempurna.

Begitu pula dengan kita sebagai kaum muslimin, pantaskah kita menerima ajakan ideologi mereka untuk kita terapkan di tanah kelahiran kita???

Namun bak kacang goreng, demokrasi ini benar-benar ramai dibicarakan. Sekarang ini, demokratisasi menjadi salah satu isu yang paling populer diperbincangkan. Buktinya, berlipat gandanya jumlah negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara-negara yang awalnya tidak menganut demokrasi, kini banyak yang berubah menganut demokrasi.

Sebagai contohnya, sejak awal 1980-an, banyak negara di kawasan Amerika Latin, Eropa Selatan, Eropa Timur, Afrika, dan Asia yang mengalami proses demokratisasi. Meski prosesnya begitu lambat, negara-negara semisal Portugal, Brazil, Argentina, Uruguay, Spanyol, Afrika Selatan, Polandia, Hungaria, Taiwan, Yunani, Filipina, dan Indonesia, amat sangat menyambut proses demokratisasi ini dengan antusiasme yang luar biasa. Tentu saja, negara-negara penganut sistem demokrasi baru ini banyak mengalami hambatan dalam prosesnya.

Di tengah arus demokratisasi yang gencar ini, Islam dipandang sebelah mata. Ajaran ini tidak dilihat menjadi bagian dari proses demokratisasi itu. Banyak buku ilmiah tentang demokrasi yang ditulis oleh para pakar, namun tidak banyak yang menyinggung Islam sebagai ajaran yang ‘bersahabat’ dengan demokrasi. Mereka memandang bahwa ajaran Islam sangat berseberangan dengan demokrasi. Tentu saja, proses demokratisasi di negara-negara hijau ini, tidak semudah pada negara-negara lainnya. Dengan kata lain, Islam dipandang tidak memiliki kontribusi yang memadai dalam proses demokratisasi.

Salah satu pakar politik, Samuel P Huntington, adalah satu dari sekian pakar yang meragukan kesesuaian ajaran Islam dengan demokrasi. Dalam bukunya, The Third Wave, Ia menyatakan bahwa kesesuaian nilai-nilai Islam dengan demokrasi, sangat diragukan. Juan J Linze, Larry Diamond, dan Seymour Martin Lipset merupakan beberapa ahli lain yang juga meragukan kesesuaian Islam dengan demokrasi.

Memang saja, kalangan-kalangan yang meragukan kesesuaian Islam dengan demokrasi tidak sedikit jumlahnya. Banyak pakar yang menyimpulkan bahwa peluang menjadi negara demokratis bagi negara-negara hijau ini, tidak selebar negara-negara sosialis atau komunis. Negara Korea Utara, Cina, dan bekas-bekas Uni Soviet, memiliki peluang besar untuk menjadi negara demokratis dibanding negara-negara kawasan Timur Tengah.

Tentu saja, pernyataan-pernyataan semacam ini mendapatkan respon yang beraneka macam. Tidak sedikit yang setuju dan banyak pula yang menentangnya seraya menyodorkan beberapa argumentasi bahwa nilai-nilai Islam sangat sesuai dengan prinsip demokrasi. Nyaris tak satupun ajaran Islam yang tidak sesuai dengan demokrasi. Begitulah responnya.

Islam = Demokrasi ??
Seorang Professor Antropologi di Boston University, Robert Hefner, membantah keragu-raguan cendikiawan barat yang memandang bahwa Islam tidak sesuai dengan demokrasi. Ia percaya bahwa demokrasi bisa tumbuh dan berkembang di negara-negara Islam. Bukunya yang fenomenal, Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000), menunjukkan bahwa Indonesia contoh bagaimana Islam dan demokrasi bisa sejalan dengan harmoni. Ia menjelaskan bahwa keharmonisan ini terjadi karena keduanya memiliki roh yang sama dalam menghargai hak asasi manusia dan kesetaraan.

Ternyata, pemikiran ini disambut positif oleh kalangan ummat Islam. Beragam tafsir sering diutarakan untuk menyamakan Islam dengan Demokrasi. Bahkan, akhir-akhir ini banyak kelompok yang mengusung paham muslim demokrat dan ide-ide yang semacam itu seperti gerakan islamisasi demokrasi atau demokratisasi islam.

Penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi pun mengungkapkan hal yang senada. Pria kelahiran Iran ini dengan lantang menyatakan bahwa menjadi Muslim bukan berarti tidak bisa menjadi pendukung demokrasi yang baik. Bahkan, Ebadi dengan percaya diri mengatakan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Lanjutnya, ia nyatakan bahwa tidak ada satupun ayat-ayat al-Quran yang kontradiktif dengan hak asasi manusia.

Demokrasi cocok untuk Islam Liberal
Demokrasi memang sebuah ide yang bisa berkembang di negara manapun. Hanya saja, perkembangan demokrasi di setiap negara berbeda-beda. Biasanya, faktor penghambat berkembangnya demokrasi adalah keberadaan suatu budaya yang menghegemoni di negara tersebut.

Budaya Barat yang sekular sangat cocok untuk persemaian demokrasi. Negara-negara yang berbudaya non-Barat tidak akan mampu melaksanakan demokrasi secara baik. Sebut saja seperti negara-negara kaum muslimin yang ‘plin-plan’ antara Hukum Allah atau Hukum Positif. Atau negara-negara yang berbudaya Islami tapi berhukum dengan hukum sekular. Nah, perkembangan demokrasi di negara-negara seperti ini tidak akan secepat dan sehebat negara-negara barat.

Kecepatan negara-negara barat dalam membangun demokrasi, disebabkan karena semangat sekularisme mereka terhadap agama dan pemerintahan. Mayoritas dari mereka tidak peduli dengan agamanya sendiri. Mereka pergi ke gereja sekehendak hati mereka. Bahkan mereka itu termasuk orang-orang yang bosan dengan dogma dan hukum-hukum gereja. Karena semangat sekularisme inilah, mereka memilih demokrasi.

Pun jika ada anggapan bahwa Islam sangat cocok dengan demokrasi, maka Islam yang dimaksud adalah Islam yang membawa nilai-nilai liberalisme. Bukan Islam yang berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran Hukum Allah dan Rasul-Nya.

Kita bisa jadikan Turki sebagai contohnya. Sebelum keruntuhan khilafah Islamiyah, Turki adalah negara besar yang menjadi simbol kekuatan Islam. Namun kini, Turki menjadi negara demokrasi di tengah-tengah negara kaum muslimin. Kekuatan Islam di dalamnya kian melemah dan berubah menjadi kekuatan Islam liberal. Nilai-nilai Qur’an dan Hadits semakin dibatasi dan tidak memiliki tempat pada sistem pemerintahan negara. Dengan kata lain, demokratisasi di Turki bisa diterima karena berkembangnya paham Islam liberal di sana.

Memang, siapa saja bisa berbicara tentang demokrasi, dari mereka yang mendukung hingga yang antipati. Tapi jangan terkejut, toh gambaran demokrasi sebagai sebuah konsep positif, pun sebenarnya relatif baru. Di masa Yunani kuno, demokrasi dipandang sebagai konsep yang dibenci oleh kalangan ilmuwan dan elit terdidik. Bahkan pada era Pencerahan Eropa atau abad ke-18, demokrasi masih merupakan istilah yang menjijikkan.

Kaum komunis menganggap bahwa demokrasi adalah ancaman. Bagi mereka, kedaulatan ada di tangan kaum proletar, bukan di tangan rakyat seperti demokrasi. Negara-negara sosialis melihat bahwa demokrasi akan menghancurkan nilai-nilai kebesaran sebuah negara, kerajaan, kekaisaran, dan lain sebagainya. Sedangkan Islam memandang bahwa demokrasi telah menggantikan posisi Allah sebagai Pemegang Kedaulatan.

Singkatnya, hanya Islam liberal-lah yang menerima demokrasi. Karena, Islam liberal menyakini bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan aturan agama tidak bisa merubah hukum negara. Demokrasi hanya bisa dijalankan dengan baik jika masyarakatnya berpikiran demokratis. Bukan berpikiran Islami!!!

No comments:

Post a Comment