Wednesday, August 26, 2009

Pandangan Syiah terhadap keluarga dan sahabat Nabi

Ahlul Bait secara bahasa artinya keluarga. Sedangkan secara istilah artinya keluarga Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam yaitu mereka yang haram menerima zakat. Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, dan keluarga ‘Abbas. Mereka semua dari Bani Hasyim.

Dari Zaid bin Arqom bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam pernah berkhutbah di tengah-tengah para shahabatnya lalu beliau berpesan tentang kitabullah (al-Qur'an) dan menyuruh supaya berpegang teguh kepadanya. Kemudian beliau berkata: "Dan ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlul baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlul baitku.”

Hushoin – seorang tabi’in yang menemui Zaid – berkata, "Siapakah ahlul baitnya wahai Zaid? Bukankah para istri beliau termasuk ahlul baitnya?” Zaid menjawab, “Para istri beliau termasuk ahlul baitnya. Tetapi ahlul baitnya juga adalah siapa yang haram menerima sedekah sepeninggal beliau.” “Siapakah mereka itu?” tanya Hushoin. Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, dan keluarga ‘Abbas.” Apakah mereka semua diharamkan menerima sedekah?” tanya Hushoin. Zaid menjawab, “Benar.” (HR. Muslim).

Sedangkan Syi’ah membatasi makna Ahlul Bait hanya sebatas keluarga Ali bin Abi Thalib, yakni: Ali, Fathimah, Hasan, Husain dan keturunan keduanya. Ini adalah suatu manipulasi istilah. Sedangkan pemahaman yang benar tentang Ahlul Bait adalah semua keluarga Nabi shallallaahu alaihi wasallam yang haram menerima zakat, yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga al-‘Abbas, dan putra-putra al-Harits bin Abdul Muthalib. Termasuk juga para istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Mereka semua termasuk dalam Ahlul Bait.

Dalam hal ini Syi’ah berdalih dengan sebuah hadits dimana Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam pada suatu hari keluar sementara di atas beliau ada selimut yang terbuat dari bulu wol hitam lalu datanglah Hasan bin ‘Ali kemudian Nabi shallallaahu alaihi wasallam memasukkannya ke dalam selimut itu, kemudian datanglah Husain lalu masuk bersamanya, kemudian datanglah Fathimah lalu beliau memasukkannya, kemudian datanglah ‘Ali maka beliau pun memasukkannya, lalu beliau membaca (firman Allah): “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS. al-Ahzab: 33) (HR. Muslim)

Dengan riwayat di atas, Syi’ah membatasi ahlul bait hanya pada Fathimah, ‘Ali, Hasan, Husain dan keturunan keduanya. Pemahaman seperti itu keliru, karena jika kita perhatikan konteks ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita dapati bahwa ayat tersebut ditujukan untuk para istri Nabi shallallaahu alaihi wasallam.

Ayat-ayat tersebut ialah:
“Hai istri-istri Nabi, kalian tidaklah seperti wanita yang lain jika kalian bertaqwa. Maka janganlah kalian berbicara dengan lunak sehingga ber-keinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat serta taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Ahzab: 32 – 34)

Akan tetapi, ayat tersebut tidak menghalangi masuknya ‘Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husain) ke dalam maksud ayat tersebut karena mereka memang ahlul bait Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Dan itulah yang ditunjukkan oleh hadits shahih di atas.

Hal ini sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang senang membersihkan diri.” (QS. at-Taubah: 108)

Konteks ayat tersebut dan sababun nuzulnya secara jelas menunjukkan bahwa masjid yang dimaksud pada ayat tersebut adalah masjid Quba’. Tetapi ini tidak menghalangi masuknya masjid lain ke dalam maksud ayat tersebut sebagaimana jawaban Nabi ketika ditanya tentang manakah masjid yang didirikan atas dasar taqwa? Beliau menjawab:

“Ia adalah masjid kalian ini – Masjid Madinah – (yakni Masjid Nabawi di Madinah).” (HR. Muslim)

Nabi shallallaahu alaihi wasallam dalam hadits ini menjelaskan bahwa ayat di atas (at-Taubah: 108) juga mencakup masjidnya (Masjid Nabawi) karena ia juga didirikan atas dasar taqwa. Jadi, as-Sunnah menjelaskan bahwa masing-masing dari kedua ayat di atas kandungannya lebih luas dari sekedar yang ditunjukkan oleh konteksnya. Maka tidak boleh menolak apa yang ditunjukkan oleh as-Sunnah dengan dalil konteks ayat, sebagaimana tidak boleh menolak konteks ayat dengan dalil as-Sunnah. Adapun Syi’ah, mereka menolak konteks ayat di atas (surat al-Ahzab: 33) dengan penjelasan Nabi. Hal ini jelas keliru.

Lebih tegas dari itu adalah perkataan Nabi shallallaahu alaihi wasallam ketika terjadi haditsul ifki (kisah pencemaran nama baik), Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam berkhutbah di tengah-tengah manusia lalu berkata: “Wahai manusia, kenapa ada orang-orang yang menyakitiku dalam ke-luargaku serta berkata tentang mereka tanpa kebenaran. Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang mereka kecuali kebaikan.” (HR. Ibnu Ishaq, dishahihkan oleh al-Albani).

Dalam hadits tersebut Nabi shallallaahu alaihi wasallam jelas-jelas menyebut ‘Aisyah dengan keluargaku.

Kecintaan Ahlus Sunnah wal Jama'ah terhadap Ahlul Bait
Ahlus Sunnah mencintai dan memuliakan mereka semua karena kedekatan mereka dengan Rasulullah dan juga karena perintah Allah dan Rasul-Nya. Berkata Ibnu Katsir: "Kita tidak mengingkari wasiat Rasulullah tentang ahlul bait dan perintah untuk berbuat baik terhadap mereka serta menghormati dan memuliakan mereka. Karena, sesungguhnya mereka adalah dari keturunan yang suci, dari keluarga termulia di muka bumi secara nasab dan keturunan. Terlebih lagi jika mereka mengikuti sunnah Nabi yang shahih lagi terang sebagaimana para pendahulu mereka seperti al-‘Abbas dan putra-putranya, Ali dan istinya serta keturunannya.”

Imam ath-Thahawi menjelaskan bahwa kebersihan dari sifat munafik tidak terwujud kecuali dengan meluruskan aqidah tentang para shahabat dan ahlul bait. Beliau berkata, "Barangsiapa yang berkata baik tentang para shahabat Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam, istri-istri beliau yang suci dan keturunan beliau yang dibersihkan dari setiap kotoran maka ia telah selamat dari kemunafikan.”

Para salafus shalih telah memberikan contoh yang baik dalam menjaga wasiat Rasulullah tentang ahlul bait beliau. Berikut ini beberapa contoh saja:
Abu Bakar berkata: "Perhatikanlah Muhammad shallallaahu alaihi wasallam pada ahlul baitnya.” Yakni jagalah beliau pada keluarganya, jangan kalian sakiti atau kalian ganggu mereka.

Beliau (Abu Bakar) juga berkata: "Demi Allah, kerabat Rasulullah lebih aku cintai daripada menyambung kerabatku.”

Umar pernah berkata kepada al-‘Abbas, “Demi Allah (wahai Abbas), keIslamanmu lebih aku sukai daripada keIslaman ayahku (al-Khaththab) seandainya ia masuk Islam. Karena, masuknya engkau ke dalam Islam lebih dicintai oleh Rasulullah daripada masuk Islamnya al-Khaththab.” Demikianlah Ahlus Sunnah wal Jama'ah – sejak zaman para shahabat hingga kini – senantiasa mencintai ahlul bait Rasulullah dan menjaga wasiat beliau tentang keluarganya.

Sikap Berlebihan Syi’ah Terhadap Ahlul Bait
Adapun Syi’ah, maka mereka membatasi cakupan ahlul bait hanya pada keluarga ‘Ali bin Abi Thalib saja. Sedangkan kerabat Rasulullah yang lain mereka keluarkan dari ahlul bait tanpa alasan selain hawa nafsu. Setelah itu mereka kultuskan keluarga ‘Ali bin Abi Thalib tersebut hingga sampai pada derajat ‘ishmah (terbebas dari semua kesalahan). Dengan demikian mereka telah berbuat ghuluw (melampaui batas) dalam agama.

Syi’ah sangat berlebihan dalam menyanjung bahkan mengkultuskan imam-imam mereka dari kalangan ahlul bait. Untuk membenarkan perbuatan mereka itu, mereka membuat-buat riwayat palsu tentang keutamaan ahlul bait. Sebagai contoh, al-Kulaini mengutip dalam kitabnya, Ushuulul Kaafi, sebuah riwayat dari Imam Ja’far ash-Shadiq –‘alaihis salam – yang berkata, “Kami adalah gudang ilmunya Allah dan kami penterjemah perintah Allah serta kami adalah kaum yang ma’shum. Diwajibkan taat kepada kami dan dilarang menyelisihi kami, kami menjadi saksi atas perbuatan ma-nusia di bawah langit dan di atas bumi.”

Salah seorang ulama mereka menukil – secara dusta – perkataan Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya akulah yang bersama Ibrahim di dalam api, dan akulah yang menjadikan api itu dingin dan selamat baginya, dan aku bersama Nuh di dalam bahtera (kapal), dan akulah yang menyelamatkannya dari tenggelam. Dan aku bersama Musa, lalu aku ajarkan ia Taurat. Dan akulah yang membuat Isa dapat berbicara di waktu masih bayi, dan akulah yang mengajarkannya Injil. Dan aku bersama Yusuf di dalam sumur, lalu aku selamatkan ia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani (terbang), dan akulah yang menundukkan angin untuknya. (Al-Anwaarun Nu’-maniyyah jilid 1, hlm. 31, dinukil dari Syi'ah wa Tahriifu Qur’an, oleh Syaikh Muhammad Malullah hlm. 17).

Khomeini (yang mereka gelari Ayatullah), pemimpin spritual mereka, berkata di dalam kitabnya al-Hukuumatu Islamiyyah (hlm. 52), “Termasuk dari kepastian madzhab kami adalah, bahwasanya para imam kami mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat yang muqarrab (dekat di sisi Allah) dan tidak pula nabi yang diutus.”

Demikianlah sikap ghuluw mereka terhadap sebagian ahlul bait. Akan tetapi terhadap ahlul bait yang lain – yang juga utama – justru Syi’ah membencinya. Contohnya adalah al-’Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi) dan Abdullah bin ‘Abbas.

Al-Kasyiy, seorang ulama Syi’ah meriwayatkan bahwa Muhammad al-Baqir pernah berkata: Pada suatu hari ada seorang datang kepada ayahku (yakni ‘Ali Zainal ‘Abidin) lalu berkata: “Abdullah bin ‘Abbas mengklaim bahwa dirinya mengerti setiap ayat al-Qur’an, kapan dan berkenaan dengan soal apa ayat itu diturunkan.” ‘Ali Zainal ‘Abidin menjawab: “Coba tanyakan kepadanya, tertuju kepada siapakah ayat-ayat ini ketika turunnya: “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang lurus).” (QS. al-Isra’: 72)

“Dan tidaklah bermanfaat kepada kalian nasihatku sekalipun aku hendak memberi nasihat kepada kalian kalau Allah hendak menyesatkan kalian.” (QS. Huud: 34)

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian serta tetaplah bersiap siaga.” (QS. Ali Imran: 200)

Orang yang menghadap ayahku itu lalu mendatangi ‘Abdullah bin ‘Abbas. Tatkala orang itu mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan ayat-ayat tersebut, Ibnu ‘Abbas menjawab: “Aku lebih suka kalau engkau mempertemukan aku dengan orang yang menyuruhmu membawa pertanyaan-pertanyaan ini, tetapi tanyakanlah dulu kepadanya: Apakah ‘Arsy itu, kapan diciptakan dan bagaimana keadaannya?!”

Orang itu lalu pergi menghadap ayahku dan mengatakan kepadanya apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas. Ayahku bertanya: “Apakah Ibnu ‘Abbas menjawab pertanyaan mengenai ayat-ayat yang kupesankan kepadamu?” Orang itu menyahut: “Tidak.” Ayahku melanjutkan: “Baiklah, sekarang kuterangkan kepadamu mengenai ayat-ayat itu berdasarkan cahaya dan ilmu, bukan dengan mengaku-ngaku atau menjiplak. Ayat pertama dan kedua diturunkan berkenaan dengan ayah ‘Abdulah bin ‘Abbas (yakni al-‘Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi), sedangkan ayat yang ketiga diturunkan berkenaan dengan ayahku dan kami (Ahlul Bait).” (Rijalul Kasyiy, hlm. 53).

Itulah yang dikatakan oleh kaum Syi’ah mengenai paman Nabi, yaitu ‘Abbas. Sedangkan mengenai Ibnu ‘Abbas, seorang ulama umat Islam, ahli tafsir al-Qur’an dan shahabat Rasulullah , oleh mereka dituduh sebagai pengkhianat.

Al-Kasyiy meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas diangkat oleh ‘Ali -shalawatullahi ‘alaihi- sebagai Amir Bashrah, kemudian ia pergi ke Makkah meninggalkan ‘Ali –shalawatullahi ‘alaihi- dengan membawa uang baitul mal sebanyak dua ribu dirham.

Ketika mendengar berita itu, ‘Ali -shalawatullahi ‘alaihi- naik ke atas mimbar sambil menangis lalu berkata: “Dia (Abdullah bin ‘Abbas) adalah anak paman Rasulullah. Dengan segala ilmu dan kepandaian yang ada padanya ia masih berbuat seperti itu, lantas bagaimana orang yang berada di bawahnya mau beriman! Ya Allah, aku sungguh sudah jemu terhadap mereka, karena itu bebaskanlah diriku dari gangguan mereka.” (Rijalul Kasyiy, hlm. 57-58).

Al-Kasyiy dalam bukunya menyediakan bab tersendiri di bawah judul “Ali menyumpahi ‘Abdullah dan ‘Ubaidillah, dua anak ‘Abbas.” Dalam bab itu ia meriwayatkan cerita bohong yang dikatakannya berasal dari Abu Ja’far -alaihis salam- bahwa Amirul Mukminin ‘Ali -alaihis salam- menyumpahi dua orang itu: “Ya Allah, kutuklah dua orang anak lelaki si Fulan – yang dimaksud adalah ‘Abdullah dan ‘Ubaidillah dua orang anak lelaki ‘Abbas- butakanlah mata mereka seperti Engkau telah membutakan hati mereka terhadap kedudukanku. Jadikanlah kebutaan mereka sebagai tanda kebutaan hati mereka.”

Riwayat-riwayat palsu seperti itu banyak sekali terdapat di dalam al-Kaafiy, dan di dalam kitab-kitab tafsir mereka, seperti al-Qummiy, al-‘Iyasyi dan ash-Shafiy. Padahal al-‘Abbas (paman Nabi) dan putranya yaitu Abdullah bin ‘Abbas termasuk dari keluarga Nabi (ahlul bait). Tetapi begitulah sikap kaum Syi’ah, mereka menyanjung dengan berlebih-lebihan sebagian ahlul bait dan menyudutkan sebagian ahlul bait yang lain.

Penetapan Khalifah berdasarkan nash
Syi’ah Rafidhah mengklaim bahwa Rasulullah telah menegaskan kepada umat bahwa khalifah sepeninggal beliau adalah Ali bin Abi Thalib , yaitu ketika beliau menunjuk Ali sebagai wakil beliau atas kota Madinah saat Rasulullah dan kaum muslimin berjihad dalam perang Tabuk. Ketika itu beliau bersabda kepada Ali: “Apakah engkau tidak ridha bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? Hanya saja tidak ada lagi nabi sesudahku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Beliau juga bersabda kepada ‘Ali di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum: “Barangsiapa yang aku sebagai walinya maka Ali juga sebagai walinya, ya Allah, jadilah Engkau wali bagi siapa saja yang loyal kepadanya (Ali), dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan al-Hakim). Hadits ini dikenal dengan hadits Ghadir Khum. Syi’ah mengklaim bahwa perkataan Nabi ini adalah nash yang tegas tentang penunjukan ‘Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau.

Ahlus Sunnah menjawab bahwa kedua hadits tersebut memang menunjukkan salah satu keutamaan Ali. Dan masih banyak lagi keutamaan beliau yang lain. Akan tetapi hadits di atas bukan merupakan dalil penunjukan Ali sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah. Sebab, Beliau juga pernah menunjuk Ibnu Ummi Maktum sebagai wakil beliau atas Madinah saat beliau keluar dalam salah satu jihadnya. Namun, para shahabat tidak menangkap hal itu sebagai penunjukan Rasulullah kepada Ibnu Ummi Maktum sebagai khalifah setelah beliau.

Adapun tentang diserupakannya kedudukan Ali sebagaimana Nabi Harun, maka pada kesempatan yang lain Rasulullah juga pernah menyerupakan Abu Bakar dengan Isa, dan menyerupakan Umar dengan Nabi Nuh pada saat musyawarah tentang bagaimana memperlakukan tawanan perang Badar.

Adapun tentang doa Nabi, “Ya Allah, jadilah Engkau wali bagi siapa saja yang loyal kepada Ali, dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya,” maka itu adalah perkataan yang haq dan doa yang mustajab. Oleh karena itu, di kalangan kaum muslimin tidak ada yang memusuhi Ali selain kaum Rafidhah sendiri. Sebab, mereka telah memposisikan Ali pada posisi yang tidak layak baginya dan menyifatinya dengan sifat-sifat yang hanya layak bagi Allah.

Di antara penyimpangan mereka yang parah adalah mengkultuskan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya serta mencaci maki para shahabat yang lain termasuk tiga khalifah yang pertama. Mereka menganggap tiga khalifah tersebut telah merampas hak kekhalifahan Ali dan melanggar wasiat Rasulullah yang telah menunjuk Ali sebagai khalifah sesudahnya. Mereka juga mengutuk ‘Aisyah dan Hafshah, (dua istri Nabi) karena keduanya adalah putri Abu Bakar dan Umar, bahkan menuduh ‘Aisyah dengan tuduhan yang sangat keji. Mereka selalu mendengung-dengungkan slogan “Membela hak-hak Ahlul Bait yang terzhalimi.”

Padahal Rasulullah tidak pernah berwasiat bahwa Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jika beliau pernah berwasiat seperti itu tentulah para shahabat yang mulia akan melaksanakan wasiat tersebut dan tidak akan berselisih dalam hal itu. Jika wasiat itu ada, tentulah Ali, di saat menjadi khalifah, akan mengumumkan hal itu kepada kaum muslimin dan menjelaskan bahwa tiga kekhalifahan yang sebelumnya adalah batil dan suatu kezhaliman. Akan tetapi yang terjadi adalah justru khalifah Ali sangat menghormati dan mencintai tiga khalifah sebelumnya.

Sebagai bukti kecintaan Ali kepada tiga khalifah sebelumnya ialah beliau memberi nama seorang putranya dengan Abu Bakar, seorang lagi dengan nama Umar, dan seorang lagi dengan nama Utsman. Beliau juga menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar bin al-Khaththtab.

Syi’ah Mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar
Syi’ah mengklaim bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama dan lebih mulia daripada Abu Bakar dan Umar. Mereka berdalih dengan beberapa riwayat yang lemah seperti hadits berikut: “Aku adalah kotanya ilmu, sedangkan Ali adalah pintunya, maka barang-siapa yang menghendaki ilmu hendaklah mendatangi pintunya.” (HR. al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adiy, ath-Thabrani dan al-Hakim; hadits ini dinyatakan maudhu’ oleh al-Albani dalam Silsilah adh-Dha’ifah no. 29-55).

Untuk mendukung hawa nafsunya yang batil, tokoh-tokoh Syi’ah Rafidhah tidak segan-segan mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qummiy, seorang ulama tafsir Syi’ah ketika menafsirkan firman Allah berikut: “Dan pada hari (ketika) orang yang zhalim itu menggigit kedua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrab(ku). “ (QS. al-Furqan: 27 – 28)

Ia berkata: “Yakni Abu Bakar akan berkata: ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul dan Ali sebagai walinya. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan Umar sebagai teman akrabku. “

Demikianlah sikap Syi’ah Rafidhah kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada para shahabat. Sedangkan sikap Ahlus Sunnah terhadap Ali dan keluarganya adalah mencintai mereka dan mengakui semua keutamaan Ali yang tersebut dalam hadits-hadits yang shahih. Ahlus Sunnah tidak mengingkari keawalan beliau dalam masuk Islam, kekerabatannya dengan Nabi , kedudukannya sebagai menantu Nabi, ilmunya dan kefahamannya terhadap al-Qur’an, kedudukannya yang tinggi, jihadnya, keberaniannya, dan bahwa beliau adalah khalifah keempat dari al-Khulafaa’ ar-Rasyidin serta salah satu dari sepuluh shahabat yang dijamin surga. Tetapi Ahlus Sunnah tidak sampai berlebih-lebihan hingga menyifatinya dengan sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Syi’ah.

Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa prioritas keutamaan keempat khalifah tersebut sesuai dengan urutan kekhalifahannya. Dalilnya adalah ijma’ para shahabat yang lebih mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman dalam pembai’atan sebagai khalifah. Dan para shahabat tersebut tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan karena Allah telah menjaga umat ini dari hal tersebut.

Sikap Rafidhah terhadap para shahabat Nabi
Mereka menyifati para shahabat Nabi sebagai orang-orang yang rakus terhadap dunia dan gila jabatan. Ibnul Muthahhir ar-Rafidhi, Ulama Syi’ah, berkata, “Sebagian mereka (yakni para shahabat) menginginkan kekuasaan untuk diri mereka, padahal itu bukanlah hak mereka. Lalu mereka pun dibai’at oleh orang-orang yang memburu dunia.”

Maksudnya ialah Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman sangat menginginkan jabatan khilafah padahal mereka tidak berhak atas jabatan itu. Lalu para shahabat yang lain membai’at mereka karena mengharapkan dunia dari mereka.

Ini jelas suatu kebohongan besar. Karena sejarah mencatat bahwa Abu Bakar justru berkata kepada kaum muslimin pada saat musyawarah pemilihan khalifah, “Aku telah ridha untuk kalian salah satu dari dua orang ini, Umar atau Abu Ubaidah.” Lalu Umar berkata, “Demi Allah, jika leherku dipenggal bukan karena suatu dosa, itu lebih aku sukai daripada memimpin suatu kaum yang di situ ada Abu Bakar.” Riwayat ini tercantum dalam Shahih Bukhari dan Muslim.

Kemudian, kaum muslimin tidaklah memilih dan membai’at Abu Bakar kecuali karena mereka mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik di antara mereka. Para shahabat yang membai’at Abu Bakar adalah orang-orang yang paling zuhud terhadap dunia.

Merekalah orang-orang yang telah mengorbankan jiwa dan harta mereka di jalan Allah, sehingga Allah memuji mereka dengan pujian yang sangat indah, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah (yakni kaum Muhajirin), serta orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan kepada mereka (yakni kaum Anshar), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (QS. al-Anfal: 74)
Wallahua'lam.

No comments:

Post a Comment